Sungailiat, BNBabel.com – Harga spot timah berjangka di bursa LME (London Metal Exchange) sejak awal Januari 2021, terpantau naik (bullish) secara kumulatif sekitar 14,26% dari harga US$20315 per metrik ton pada penutupan perdagangan akhir tahun 2020, menjadi US$23292 per metrik ton pada sesi perdagangan hari ini, atau Rp325.365.948 per metrik ton bila dikonversikan ke mata uang rupiah dengan nilai kurs spot saat ini adalah Rp13.969 per dollar Amerika. Sedangkan untuk harga offer cash timah di LME pada sesi perdagangan tertanggal 10 Febuari 2021 adalah US$25458 per metrik ton.
Dikutip dari Bloomberg, Kepala Penelitian Sucden Financial, Geordi Wilkes, mengatakan bahwa harga timah dunia hari ini telah naik ke level tertinggi dalam enam tahun terakhir. Kenaikan harga selama satu bulan penuh ini dipicu oleh konsumsi barang elektronik yang meningkat drastis, seperti permintaan chip komputer kelas atas di pasar global, sehingga turut mendongkrak suplai timah sebagai logam solder, pada saat pasokannya justru sedang merosot tajam akibat terjadi penurunan volume produksi di daerah penghasil bijih timah.
Senada dengan Wilkes, Julian Andryanto Mustafa, selaku Sekretaris DPW Asosiasi Pertambangan Rakyat Indonesia (APRI) Babel pun mengatakan kalau kenaikan harga ini murni dipengaruhi oleh hukum pasar, yaitu ketika permintaan terhadap suatu barang ekonomi meningkat tanpa diimbangi volume ketersediaan yang dibutuhkan, membuat harga barang turut mengalami volatilitas.
“Saya melihat kenaikannya di bursa LME hari ini murni karena hukum pasar yang sedang bermain, ya, karena faktor supply-demand. Sebab seperti diketahui kalau barang (bijih timah-pen) di tingkat lokal saja saat ini agak susah didapatkan. Semakin sedikit lokasi tambang yang bisa dibuka oleh masyarakat, bahkan untuk sekelas korporasi sekali pun, ditambah lagi dengan gencarnya penindakan hukum oleh aparat guna menertibkan tambang ilegal jenis konvensional yang dikelola oleh masyarakat, menjadi kompleksitas masalah yang memicu ‘volateli’ yang tidak biasa ini, atau disebut juga sebagai fenomena backwardation, ” papar Julian saat disambangi di kediamannya, Kamis (11/02/2021).
Ia pun menambahkan, bahkan bila membandingkan dengan data bursa LME tahun 2011 yang saat itu harga spot timah menyentuh US$33.000 per metrik ton dengan nilai kurs tertinggi sekitar Rp9.000 per dollar Amerika, dilihat dari sisi selisih kurs mata uang saja, kenaikan harga saat ini justru mencatat rekor tertingginya. Maka karena itu Ia berharap momentum ini dapat diserap secara optimal guna memulihkan kembali daya ekonomi masyarakat yang mengalami kontraksi di sepanjang masa pandemi sekitar hampir satu tahun belakangan ini.
“Iya. Harapannya begitu. Ini berkah di tengah pandemi. Saya harap kenaikan harga timah saat ini berkorelasi positif dengan perbaikan ekonomi masyarakat di tingkat lokal. Sebab, sektor pertambangan sebagai motor gerak ekonomi daerah kita selama ini, menjadi salah satu yang terkena imbas cukup parah ketika terjadi pandemi global. Semoga saja stakeholder daerah ini segera turun tangan membantu masyarakat kita yang berprofesi penambang. Dicarikan solusinya agar masyarakat biasa bisa menambang secara legal, aman, dan tenang. Apalagi sudah ada kita, APRI, yang siap bersinergi bersama pemerintah daerah untuk mengurus legalitasnya. Alokasikan WPR (Wilayah Pertambangan Rakyat) untuk masyarakat. Kemudian urus IPR-nya. Selesai. Masyarakat bisa menambang secara legal, aman, dan tenang, serta turut dapat menyumbang fiskal untuk negara juga dari royaltinya ‘kan,“ tegasnya.
Sebagai informasi, APRI sendiri merupakan wadah organisasi untuk kalangan penambang yang bergerak di sub-sektor pertambangan rakyat. Berdasarkan catatan kiprahnya untuk skala nasional, kehadiran APRI telah berhasil mengkoordinir jaringan penambang rakyat di beberapa provinsi secara efektif dan sistematis ke dalam sebuah komunitas tambang bernama RMC (Responsible Mining Community) sebagai bentuk konsep pengelolaan pertambangan rakyat yang bertanggungjawab, dan integral. (JAM)